Minggu, 09 Oktober 2011

Lelaki berparas cahaya VS Narcissus


TELAGA ITU LUAS,. Sebentang Ailah di Syam hingga San’a di Yaman. Di tepi telaga itu berdiri seorang lelaki. Rambutnya hitam, disisir rapi sepapak daun telinga. Dia menoleh dengan segenap tubuhnya, menghadap hadirin  dengan sepenuh dirinya. Dia memanggil-manggil. Seruannya merindu dan merdu. “Marhaban ayyuhal insaan! Silakan mendekat, silakan minum!”
Senyumnya lebar, hingga otot di ujung matanya berkerut dan gigi putihnya tampak. Dari sela gigi itu terpancar cahaya. Mata hitamnya yang bercelak dan berbulu lentik mengerjap bahagia tiap kali menyambut pria dan wanita yang bersinar bekas-bekas wudhunya.
Tapi diantara alisnya yang tebal dan nyaris bertaut itu, ada rona merah dan urat yang membiru tiap kali beberapa manusia dihalau dari telaganya. Dia akan diam sejenak. Wibawa dan ahlaqnya terasa semerbak. Lalu dia bicara penuh cinta, dengan mata berkaca-kaca. “Ya Rabbi”, serunya sendu, “Mereka bagian dariku! Mereka ummatku!”
Ada suara menjawab, “Engkau tak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu!”
Air telaga itu menebar  wangi yang lebih harum dari kasturi. Rasanya lebih lembut dari susu, lebih manis dari madu, dan lebih sejuk dari salju. Di telaga itu, bertebar cangkir kemilau sebanyak bilangan gemintang. Dengan itulah si lelaki itu memberi minum mereka yang kehausan, menyejukkan mereka yang kegerahan. Wajahnya berseri tiap kali ummatnya menghampiri. Dia berduka jika dari telaganya ada yang dihalau pergi.
Telaga itu sebentang Ailah di Syam hingga San’a di Yaman. Tapi ia tak terletak di dunia ini. Telaga itu Al-Kautsar. Lelaki itu Muhammad. Namanya terpuji di langit dan bumi.
**************************************
Telaga lain yang lebih kecil, konon pernah ada dalam cangkungan sebuah hutan di Yunani. Dan telaga itu, setiap pagi seorang lelaki berkunjung. Dia berlutut di tepinya, mengagumi bayangannya yang tepantul dipermukaan. Dia berlutut di tepinya, mengagumi bayangannya yang terpantul dipermukaan. Dia memang tampan. Garis dan lekuk parasnya terpahat sempurna. Matanya berkilau. Alis hitam dan cambang di wajahya berbaris rapi, menjadi kontras yang menegaskan kulit putihnya.
Lelaki itu, kita tahu, Narcissus. Dia tak pernah berani menjamaah air telaga. Dia takut citra indah yang dicintanya itu memudar hilang ditelan riak. Konon dia dikutuk oleh Echo, peri wanita yang telah dia tolak cintanya. Dia terkutuk untuk mencintai tanpa bisa menyentuh, tanpa bisa merasakan, tanpa bisa memiliki. Echo meneriakkan laknatnya di sebuah lembah, menjadi gema dan gaung yang hinga kini diistilahkan dengan namanya.
Maka di tepi telaga itu Narcissus selalu terpana dan terpesona. Wajah dalam air itu mengalihkan dunianya. Dia lupa pada segala hajat hidupnya. Kian hari tubuhnya melemah, hingga satu hari dia jatuh tenggelam. Alkisah, tempat dia terbenam,tumbuh sekuntum bunga. Orang-orang menyebut kembang itu Narcissus.
******************************
Tetapi Paulo Choelho punya anggitan lain untuk kisah Narcissus. Dalam karyanya The Alchemist, tragika lelaki yang jatuh cinta pada dirinya sendiri itu diakhiri dengan lebih memikat. Konon, setelah kematian Narcissus, peri-peri hutan datang ke telaga. Airnya telah berubah dari semula jernih dan tawar menjadi seasin air mata.
“Mengapa kau menangis?” tanya para peri
Telaga itu berkaca-kaca. “Aku menangisi Narcissus,” katanya
“Oh, tak heranlah kau tangisi dia . sebab semua penjuru hutan selalu mengaguminya, namun hanya kau yang bisa menakjubi keindahannya dari dekat.”
“Oh,. Indahkan Narcissus?”
Para peri hutan saling memandang. “Siapa yang mengetahuinya lebih dari padamu?” kata salah seorang. “Di dekatmulah tiap hari dia berlutut mengagumi keindahannya.”
Sejenak hening menyerap mereka. “Aku menangisi Narcissus, “ kata telaga kemudian,”Tapi tak pernah kuperhatikan bahwa dia indah. Aku menangis karena, kini aku tak bisa lagi memandang keindahanku sendiri yang terpantul di bola matanya tiap kali dia berlutut di dekatku”.
*******dikutip dari buku Salim A.Fillah “Dalam dekapan ukhuwah*******
Setelah kita membaca kisah di atas, masihkan kita menjadi Narcissus?? Hanya peduli tentang diri kita, mengagumi diri kita sehingga lupa semuanya., begitu sebaliknya dengan telaga tersebut. Mengagumi diri sendiri dan mencintai nya. Narcissus dan telaga tersebut hanya dongeng, namanya hanya kita tahu sebagai kisah.. berbeda dari kisah telaga Al-Kautsar,. Seorang lelaki sebagai suri tauladan, parasnya bercahaya, ahlaqnya mulia,.. tetap menjadi pelayan ummat,.. yang akan bersedih ketika umatnya berpaling sepeninggalnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar