Slow
Food VS Fast Food
Dengan senang hati saya menulis artikel ini, inti
dari Slow food dan fast food ada di diskusi luar biasa di
Rumah Perubahan Rhenald Kasali, Selasa 08 Januari 2013. “Dia seorang wanita
yang memasarkan produk Indonesia dari petani-petani Indonesia ke pasar dunia:
Eropa, Amerika, India dll.”
Makanan
sekarang sangat sulit membedakannya yang asli atau yang ada bahan pengawet,
kalau lidahnya (sensornya tidak dilatih dari kecil). Pembiasaan ini sangat
penting, karena semakin maraknya makanan/jajalan yang mengandung bahan berbahaya
bagi kesehatan. Jika dari kecil sudah dibiasakan makan-makanan sehat, klo makan
yg tidak sehat seperti mengandung MSG, pengawet, warna yang tidak wajar “Pasti
tidak mau memakannya”. Atau karena terpaksa, sudah tau tapi nekat , hehe.
Tentunya
sahabat sering denger makanan fast food
kan? Ini juga menjadi alternatif hangat dengan citranya yang serba cepat,
efektif, efisien, praktis, instant, yang gampang dimakan dengan dalih gak ada
waktu untuk masak sendiri, lebih oke makan di restoran berlabel ‘luar negri’ dan
terpaksa makan makanan instant (berlagak terpaksa dan tidak berdaya padahal
diulang juga buktinya sekarang masih
suka makan fast food? Tenaaang...Saya
juga masih ikut dalam golongan ini, hihihi . berubah memang proses, oleh karena
itu saya menulis artikel ini ).
Fast food?
Jadi inget Amerika. Pernah kepikiran gak? Kita kan doyan makanan orang Amerika,
ya contohnya burger, pizza, lah, kira-kira orang Amerika suka gak ya makanan
kita contohnya sagon (dari kelapa, ketan, gula makanan khas Jawa klo lebaran),
peyek (iwak peyek), lemper, tahu, (oalah gak saya sebutin semua ya, gak muat
banyak banget). Kita aja sudah banyak makanan luar yang masuk, terus produk
dalam negri pie?
Tenggelam?
Mlempem?? OOH tidak!
Ya setidaknya mereka Fast food, kita Slow food.
Gitu? Namaya juga slow, artinya saja
lambat. Lah trus gimana? ‘Lambat’ bersaing
dengan yg ‘Cepat’?
TERNYATA.... Slow food
itu...
Makanan yang “GOOD”
CLEAN” “FAIR” CATET YA!
Good:
Rasanya harus enak
Clean:
Bersih
Fair: Hubungannya
harus FAIR : sama2 menang
Bermain
utk menang, orang yg bermain untuk menang harus bermain menang bareng2. Sama2
menang. Kalau Cuma menang karena lawan kita kalah, kita hanya menang satu kali,
jika kita menang dan lawan menang, maka kita akan menang selama-lamanya. Produsen
untung, konsumen juga sehat, kan sama-sama menang.
Di sinilah Slow Food mampu bersaing dengan Fast Food,
buktinya produk Indonesia dari pelosok sudah mampu masuk pasar Eropa (acara
rumah perubahan Rhenald Kasali 8 januari 2013 ). Sagon masuk ke Eropa, orang Eropa
kan doyan nya pizza, burger, nah lho doyan juga sagon. Ini karena prinsip SLOW
FOOD yang barusan dibahas.
Dalam
prinsip Slow food, konsumen diberikan pendidikan mengenai produk, dikasih
taster, komposisi makanannya jelas, kebanyakan makanan impor ingredients nya
E64, E71 kita tidak akan tahu produk itu mengandung apa, entah minyak ekstrak babi,
atau apa kita tidak tahu karena memakai kata-kata teknis yang asing bagi
konsumen. Naah oleh karena itulah perlu adanya education untuk customer,
memilih barang, membedakan yg asli dg yg tidak, bisa membedakan yg mengandung
MSG/ tidak. Membiasakan TEST EDUCATION dari anak2 (kenalkan makanan yang alami
jadi sudah bisa membedakan makanan yg alami/engga).
Pasar Slow food bisa
tembus ke Eropa salah satunya:
1. Harus ada marketing
intelligent (mata-mata marketing). Relasi yag banyak dari berbagai negara
tidak dibangun dalam waktu singkat, Bu Bintang tamu ini... hobby jalan-jalan,
dari tahun 1993 sudah mulai jalan2 ke luar negri, dari jalan2 ke luar negri
banyak teman, klo teman kan enak diajak ngobrol, nah mereka ditanya tentang
produk2 di negara mereka apa yang kiranya disukai dan sedang jadi trend (jadi biaya survei kan murah, Cuma
dari ngobrol2 dapet info deh)
2. Tidak
malu menunjukkan indentitas ‘Kita orang Indonesia’ Bu bintang tamu.. memakai
kerudung orang minang kemana2, waktu jalan2 ke berbagai negara, jadi orang kan
tahu ‘ooh dari Indonesia, ciri khasnya kerudung minang, produknya sagon,
membawa citra Indonesia produk yang sehat, enak, dan fair. Contohnya produk
yang sudah masuk ke eropa adalah sagon. Mulanya Produknya dikenalkan, merubah
pola pikir (yang lidah nya terbiasa makan pizza lama kelamaan bisa suka sagon ‘proses
adopsi’), tapi syaratnya gunakan dengan standar produk mereka. PRODUKNYA
INDONESIA TAPI STANDARNYA LUAR NEGRI
3. Memasukkan
edukasi produk, standar makanannya jelas di ingredients
nya
4. Nyambung
dari marketing intelligent, amati
perilaku konsumen, klo konsumen mampu dengan harga beli tinggi (mahal), jangan
kasih harga murah. Karena ternyata hukum ‘Price
quality perception’ persepsi hubungan harga dengan kualitas berlaku. “Made
in Indonesia” apa kira2 persepsi orang luar dengan Indonesia? Negeri
berkembang? Atau bahkan gak pernah denger , atau malah negeri miskin (image
miskin, sejajar dengan harga murah, murah=murahan). Kalau STANDAR PASAR di luar
PREMIUM, GEMPUR dengan PASAR PREMIUM.
5. Membuat
jembatan antara petani pelosok Indonesia dengan pasar Eropa ya dengan jalan2
tadi, membangun relasi. Petani dikasih harga yag sesuai agar sama-sama untung,
pasar luar dikasih kualitas yang OKE.
-Slow
food VS Fast food, 08 Januari 2013, materi pengembangan dari diskusi Rumah
Perubahan Rhenald Kasali-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar