Sabtu, 19 Januari 2013

Part I - Review




 Marketing
PART I
Review
Enam kategori produk menurut Booz, Allen, dan Hamilton dalam buku Kotler “Manajemen Pemasaran” edisi kesebelas  Jilid 2 (3: 2005) adalah:
1.      Produk baru  bagi dunia: Produk-Produk baru yang menciptakan pasar yang sama sekali baru.
2.      Lini produk baru: Produk-produk baru yang memungkinkan suatu perusahaan memasuki pasar yang telah mapan untuk pertama kalinya.
3.      Tambahan pada lini produk yang telah ada: Produk-produk baru yang melengkapi lini produk mapan suatu perusahaan (ukuran kemasan, selera, dll).
4.      Perbaikan dan revisi produk yang telah ada : Produk-produk baru yang memberikan kinerja yang makin meningkat atau nilai yang dianggap lebih tinggi dan menggantikan produk-produk yang telah ada.
5.      Reposisi: Produk-produk yang telah ada dan diarahkan ke pasar atau segmen pasar yang baru.
6.      Pengurangan biaya: Produk-produk baru yang memberikan kinerja serupa dengan harga yang lebih rendah.

Kurang dari 10% produk yang benar-benar baru dan inovatif di lapangan. Produk yang benar-benar baru mengandung banyak risiko dan biaya, sebelum produk diciptakan tentunya dilakukan riset pasar sebelumnya (survei) karena yang menentukan produk itu seperti apa adalah konsumen. Perusahaan hanya meng-creat apa yang dibutuhkan dan diinginkan konsumen. Sebaik apapun produk dan secanggih apapun produk, tidak akan laku di pasar ketika memaksakan ke pasar. Perlu adaptasi, kemudian adopsi, akhirnya orang tertarik, mulai mau mencoba, menggunakan, puas, dan akhirnya dapat loyal. Merubah paradigma konsumen akan suatu produk membutuhkan proses dalam waktu yang lumayan, sementara roda perusahaan terus berputar, harus terus produksi, cost terus keluar, sumber daya manusia butuh gaji, akhirnya banyak perusahaan memilih untuk melakukan inovasi dari produk yang sudah ada. Karena dapat dilihat trend pasar mengarah kemana.

Smartphone yang terus berkembang menjadi sorotan beberapa vendor besar, kelas menengah ke bawah mulai di sorot, saat ini sampai akhirnya pasar mulai merambah ke semua level. Yang semula Smartphone yang hanya sebagai suatu kebutuhan, hingga menjadi life style dari ekonomi bawah, menengah, dan atas. Harga mulai beraneka ragam dari 600rb an sampai puluhan juta.
Beberapa perusahaan yang melakukan rutin untuk melakukan inovasi diantaranya adalah Microsoft, 3M, Sony, Dell Computer, Oracle, Maytag, dll.

Pada tahun 1990-an Motorola dan beberapa mitra perusahaan meluncurkan Iridium (suatu sistem telepon nirkabel berbasis satelit global). Namun sekitar tahun 1999 Agustus, Iridium harus mengajukan kepailitan karena perusahaan tidak mampu membayar obligasi dan pada Maret 2000 perusahaan memutuskan agar sistem yang bangkrut tersebut ditutup. Naah betapa pentingnya inovasi walaupun memang cost yang diperlukan itu tidak sedikit, waktu, tenaga, sumber daya, dll. Karena sangat pentingnya inovasi, sampai pada siklus hidup produk, inovasi menjadi siklus yang harus dilakukan ketika produk ada di level maturity sebelum decline.

Daur hidup produk terdiri dari: Introducing (ketika produk mulai dikenalkan kepada konsumen), Growth (pada siklus ini produk mulai tumbuh, konsumen berdatangan untuk membeli, pertumbuhan pasar terlihat), Maturity (level dimana produk laku-lakunya dan harus diwaspadai karena pasar akan mendekati ke titik jenuh, di level inilah perlu diadakan inovasi), siklus yang terakhir adalah Decline (pasar sudah jenuh, produk semakin tidak laku di pasar).  Pada saat pasar sudah jenuh seperti ini perusahaan bisa mengubah segmen pasar, kadang ada yang melakukan cuci gudang utk baju-baju, contoh di media per film-an ketika pasar sudah mulai jenuh dengan banyak bermunculan film-film baru, film yang mendekati jenuh akan diputar di televisi.
WJF, January 2013

Selasa, 08 Januari 2013

"Slow food VS Fast food"



Slow Food VS Fast Food

Dengan senang hati saya menulis artikel ini, inti dari Slow food dan fast food ada di diskusi luar biasa di Rumah Perubahan Rhenald Kasali, Selasa 08 Januari 2013. “Dia seorang wanita yang memasarkan produk Indonesia dari petani-petani Indonesia ke pasar dunia: Eropa, Amerika, India dll.”
Makanan sekarang sangat sulit membedakannya yang asli atau yang ada bahan pengawet, kalau lidahnya (sensornya tidak dilatih dari kecil). Pembiasaan ini sangat penting, karena semakin maraknya makanan/jajalan yang mengandung bahan berbahaya bagi kesehatan. Jika dari kecil sudah dibiasakan makan-makanan sehat, klo makan yg tidak sehat seperti mengandung MSG, pengawet, warna yang tidak wajar “Pasti tidak mau memakannya”. Atau karena terpaksa, sudah tau tapi nekat , hehe.
Tentunya sahabat sering denger makanan fast food kan? Ini juga menjadi alternatif hangat dengan citranya yang serba cepat, efektif, efisien, praktis, instant, yang gampang dimakan dengan dalih gak ada waktu untuk masak sendiri, lebih oke makan di restoran berlabel ‘luar negri’ dan terpaksa makan makanan instant (berlagak terpaksa dan tidak berdaya padahal diulang  juga buktinya sekarang masih suka makan fast food? Tenaaang...Saya juga masih ikut dalam golongan ini, hihihi . berubah memang proses, oleh karena itu saya menulis artikel ini ).
Fast food? Jadi inget Amerika. Pernah kepikiran gak? Kita kan doyan makanan orang Amerika, ya contohnya burger, pizza, lah, kira-kira orang Amerika suka gak ya makanan kita contohnya sagon (dari kelapa, ketan, gula makanan khas Jawa klo lebaran), peyek (iwak peyek), lemper, tahu, (oalah gak saya sebutin semua ya, gak muat banyak banget). Kita aja sudah banyak makanan luar yang masuk, terus produk dalam negri pie?
Tenggelam? Mlempem?? OOH tidak!
 Ya setidaknya mereka Fast food, kita Slow food. Gitu? Namaya juga slow, artinya saja lambat. Lah trus gimana? ‘Lambat’ bersaing dengan yg ‘Cepat’?
TERNYATA.... Slow food itu...
Makanan yang “GOOD” CLEAN” “FAIR” CATET YA!
Good: Rasanya harus enak
Clean: Bersih
Fair: Hubungannya harus FAIR : sama2 menang
Bermain utk menang, orang yg bermain untuk menang harus bermain menang bareng2. Sama2 menang. Kalau Cuma menang karena lawan kita kalah, kita hanya menang satu kali, jika kita menang dan lawan menang, maka kita akan menang selama-lamanya. Produsen untung, konsumen juga sehat, kan sama-sama menang.
Di sinilah Slow Food mampu bersaing dengan Fast Food, buktinya produk Indonesia dari pelosok sudah mampu masuk pasar Eropa (acara rumah perubahan Rhenald Kasali 8 januari 2013 ). Sagon masuk ke Eropa, orang Eropa kan doyan nya pizza, burger, nah lho doyan juga sagon. Ini karena prinsip SLOW FOOD yang barusan dibahas.
Dalam prinsip Slow food, konsumen diberikan pendidikan mengenai produk, dikasih taster, komposisi makanannya jelas, kebanyakan makanan impor ingredients nya E64, E71 kita tidak akan tahu produk itu mengandung apa, entah minyak ekstrak babi, atau apa kita tidak tahu karena memakai kata-kata teknis yang asing bagi konsumen. Naah oleh karena itulah perlu adanya education untuk customer, memilih barang, membedakan yg asli dg yg tidak, bisa membedakan yg mengandung MSG/ tidak. Membiasakan TEST EDUCATION dari anak2 (kenalkan makanan yang alami jadi sudah bisa membedakan makanan yg alami/engga).
Pasar Slow food bisa tembus ke Eropa salah satunya:
1.       Harus ada marketing intelligent (mata-mata marketing). Relasi yag banyak dari berbagai negara tidak dibangun dalam waktu singkat, Bu Bintang tamu ini... hobby jalan-jalan, dari tahun 1993 sudah mulai jalan2 ke luar negri, dari jalan2 ke luar negri banyak teman, klo teman kan enak diajak ngobrol, nah mereka ditanya tentang produk2 di negara mereka apa yang kiranya disukai dan sedang jadi trend (jadi biaya survei kan murah, Cuma dari  ngobrol2 dapet info deh)
2.      Tidak malu menunjukkan indentitas ‘Kita orang Indonesia’ Bu bintang tamu.. memakai kerudung orang minang kemana2, waktu jalan2 ke berbagai negara, jadi orang kan tahu ‘ooh dari Indonesia, ciri khasnya kerudung minang, produknya sagon, membawa citra Indonesia produk yang sehat, enak, dan fair. Contohnya produk yang sudah masuk ke eropa adalah sagon. Mulanya Produknya dikenalkan, merubah pola pikir (yang lidah nya terbiasa makan pizza lama kelamaan bisa suka sagon ‘proses adopsi’), tapi syaratnya gunakan dengan standar produk mereka. PRODUKNYA INDONESIA TAPI STANDARNYA LUAR NEGRI
3.      Memasukkan edukasi produk, standar makanannya jelas di ingredients nya
4.      Nyambung dari marketing intelligent, amati perilaku konsumen, klo konsumen mampu dengan harga beli tinggi (mahal), jangan kasih harga murah. Karena ternyata hukum ‘Price quality perception’ persepsi hubungan harga dengan kualitas berlaku. “Made in Indonesia” apa kira2 persepsi orang luar dengan Indonesia? Negeri berkembang? Atau bahkan gak pernah denger , atau malah negeri miskin (image miskin, sejajar dengan harga murah, murah=murahan). Kalau STANDAR PASAR di luar PREMIUM, GEMPUR dengan PASAR PREMIUM.
5.      Membuat jembatan antara petani pelosok Indonesia dengan pasar Eropa ya dengan jalan2 tadi, membangun relasi. Petani dikasih harga yag sesuai agar sama-sama untung, pasar luar dikasih kualitas yang OKE.

-Slow food VS Fast food, 08 Januari 2013, materi pengembangan dari diskusi Rumah Perubahan Rhenald Kasali-