Senyuman
di negri pelangi
Sore itu,.
Kurapikan jilbab karena terkoyak angin yang kencang,
“sedikit basah” pikirku
Sore
itu memang hujan deras, halilintar setia menemani hujan angin sore itu. Seperti
biasa, aku mau ketemu anak-anakku. Hari ini, mereka UTS, aku sudah membayangkan
betapa wajah ceria mereka menjadi beraneka ragam, karena yang kutahu banyak
sekali hal yang mereka pikirkan, tak hanya UTS sore ini.
Kuraih
tas ranselku, sementara tangan kiriku membawa payung yang siap kubuka ketika
turun dari angkutan umum.
“Yap! Hujan masih turun,
Engkau tahu mana yg terbaik kan?” bisikku dalam hati, sambil kusimpulkan
senyum, pertanda hatiku setuju dengan yang kuucapkan.
“Gerlong Pak”
“Nuhun neng”
Siap
melaju ke angkutan umum berikutnya, hujan tak kunjung berhenti, kurapikan lagi
jilbabku.
“Hemmmm, angin kenceng
lagi. Engkau tahu mana yang terbaik kan?” kusimpulkan senyum lagi, tanda hatiku
setuju dengan yg kuucapkan.
“Antapani.. antapani..”
suara supir angkot teriak kenceng banget, maklum depan BEC , banyak orang
berlalu lalang”
“aah, naik yg ini deh,
kayaknya cepet nih, gak ngetem2”
Perjalanan
begitu menyita waktu, membuatku ngantuk dan kadang merem memejamkan mata,
“Rasanya kok lelah banget
hari ini,” kuhembuskan nafas sedikit tertahan, malu juga banyak yg lihat,
angkot full , seperti kata pak supir :
“tujuh lima, tujuh lima” pertanda
angkot penuh, sisi kanan tujuh, dan sisi kiri (tempat duduk) diisi 5 penumpang”
“Tekluk, tekluk” kayaknya
begini keadaan sore itu, ngantuk, malemnya tidur malem
“Hemmmm” kuhembuskan nafas lagi, kemudian..
“Tekluk .. tekluk” Ngantuk..
Hujan
terus mengguyur Terusan Jalan Jakarta sore itu, angin dan halilintar beriringan
layaknya iringan musik antara gitar dan piano, menjadi perpaduan musik yang
indah. Tak lain dengan hujan sore ini, deres.
“Borma, Borma” suara pak
supir membangunkanku
“Kiri , payun Pak (kiri,
depan Pak)” sedikit bersuara sundanis, mengimbangi suara Pak supir
“Tilu ribu neng,”
“Muhun Pak, nuhun nya”
Payungku
masih kukenakan, tak lain lagi..
Kurapikan
jilbabku, seperti semula, basahnya mulai mrembes kelapisan jilbab kedua, aku
merasa mulai dingin,
“Sepatuku,, ooohh” sepatu setia yang menemani perjuangan ini,
“Maafkan yaa, untuk sore
ini jadi akuarium dulu, besok aku jemur deh yaa” Kupandang sepatu kesayanganku
Hujan
masih deras, seperti biasa, kampus sebelah selatan memang sudah jadi kebiasaan,
banjir dadakan setiap hujan. Jalan pintas menuju ruang pengajar memang lebih
rendah dari jalan raya, jadi sasaran air yang mengalir setiap hujan, dan
menjadi penampung aliran air. Klo aku bilang..
‘Sungai dadakan”
“Sepatuku aja tetep tabah,
walaupun sudah jadi akuarium, waah bos nya juga mesti tabah donk.” Kusimpulkan senyum
lagi, pertanda yg kuucapkan sesuai dengan yg ada di hati.
Klo gini, jadi inget pesen Bapak
“Wanita itu juga harus
tegar seperti karang, tapi harus lembut”
Singkat, tapi dalem
maknanya.
Sore
itu, ketika hujan turun deras,
Bandung,
Mei awal, 2012