Sabtu, 15 September 2012

Jimpitan



Jimpitan

Kawan,. Apa kalian kenal dengan hal ini? Hal ini mengingatkanku pada kejadian 17 tahun silam ketika aku kelas 3 SD....
(saya langsung terjemahkan saja memakai bahasa indonesia saja yaa,. Karena kejadian ini ada di kebumen, kota kelahiranku)

“Wiitt,.. ngaji,. Sudah maghrib!” Seru nenekku,. Usia nya tak lagi muda,. Tapi semangatnya membara2,. Beliaulah yang merawatku sejak kecil karena kedua orang tuaku mempunyai warung makan di kota.
Setiap sore, begitulah kewajiban nenekku untuk ngingetin aku ngaji. Karena mushola deket dengan rumah, hampir tidak pernah absen utk ngaji dan jamaah bersama teman2 ku kala itu, rame.. anak2 kecil, orang dewasa, orang tua, dan semua umur kumpul di mushola ini.
Setelah shalat maghrib, kami ngaji, baru setelah isya pulang ke rumah utk belajar. Dan di mushola dilanjut sama yg sudah tua2 untuk ngaji, biasanya sampai jam 8an malam. Jadi gak pernah lat , suasanane hangat.

Sebelum ngaji, jadwal rutinku tiap sore adalah menaruh jimpitan di samping pintu rumah yang tergantung di paku kecil.
Tidak cukup banyak, hanya beberapa sendok beras yang ditaruh dikotak/tempat kecil/kadang botol kecap plastik yang dibagi dua, sisi yang masih ada alas itulah yang digunakan sebagai tempat jimpitan. Kemudian sisi kedua botol kecap ini diberi tali, sebelumnya dilubangi dulu, biasanya pake korek api, agar plastik botol kecap (ujungnya) berlubang dikit, baru diikatkan tali diantara kedua dengan membagi seimbang. Agar tidak gonclang (gonclang itu dalam bahasa indonesia nya ya seimbang lah, pokoke gak berat sebelah, sama beratnya).

Nantinya jimpitan ini akan diambil pada malam hari ketika bapak2 di desa kena jadwal ngeronda. Sekitar jam 2 pagi lah, bpk2 ronda berkeliling kampung sambil nabuh (mukul) kenthong (semacam bambu yang salah satu sisinya dilubangi, agar pas dipukul bunyi, jika dipukul 2 kali, berarti jam 2 pagi). Kanthong sambil dipukul2 keliling kampung, tujuannya biar hangat, gak ada maling, dan aman. Yang jadwalnya tahajud jadi merasa ada teman, untuk mengambil air wudhu di sumur.
Nantinya beras jimpitan ini akan dikumpulkan di balai desa, kalau sudah terkumpul banyak digunakan utk kemakmuran desa. Begitu tiap harinya, jimpitan selalu ada di tiap rumah.

Suasana pagi pukul 2 sampai subuh, sangat rame di kampungku, ketika itu.
Setelah bpk2 selesai ronda sekitar pukul 4 pagi, mushola deket rumahku pada ngaji, anak2 kecil pada berlarian ke mushola dituntun kedua orang tuanya,
Kami berwudu di sumur mushola, kemudian jamaah subuh bersama, sampai bada’ subuh dan kajian pagi, aku dan teman2 menyempatkan jalan2 dulu kemudian pulang dan bersiap2 sekulah.

17 tahun kemudian..
Aku pulang ke kampung tempatku dibesarkan, sudah banyak pembangunan. Jalan sudah semakin bagus, rumah2 pun sudah pada dibangun lebih bagus.
Teman2 kecilku pun sudah berubah, rata2 sudah menggendong 1 anak, dan memanggilku “Bibi” hihhi
Satu hal yg kuingat, ketika aku masuk pintu rumah uwa..
“Jimpitaan. Mana Jimpitan?”

Semoga budaya jimpitan masih tetap ada, jimpitan bukan hanya sekedar jimpitan.
Jimpitan itu, mempunyai makna yang hangat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar