Jimpitan
Kawan,.
Apa kalian kenal dengan hal ini? Hal ini mengingatkanku pada kejadian 17 tahun
silam ketika aku kelas 3 SD....
(saya
langsung terjemahkan saja memakai bahasa indonesia saja yaa,. Karena kejadian
ini ada di kebumen, kota kelahiranku)
“Wiitt,..
ngaji,. Sudah maghrib!” Seru nenekku,. Usia nya tak lagi muda,. Tapi
semangatnya membara2,. Beliaulah yang merawatku sejak kecil karena kedua orang
tuaku mempunyai warung makan di kota.
Setiap
sore, begitulah kewajiban nenekku untuk ngingetin aku ngaji. Karena mushola
deket dengan rumah, hampir tidak pernah absen utk ngaji dan jamaah bersama
teman2 ku kala itu, rame.. anak2 kecil, orang dewasa, orang tua, dan semua umur
kumpul di mushola ini.
Setelah
shalat maghrib, kami ngaji, baru setelah isya pulang ke rumah utk belajar. Dan di
mushola dilanjut sama yg sudah tua2 untuk ngaji, biasanya sampai jam 8an malam.
Jadi gak pernah lat , suasanane hangat.
Sebelum
ngaji, jadwal rutinku tiap sore adalah menaruh jimpitan di samping pintu rumah
yang tergantung di paku kecil.
Tidak
cukup banyak, hanya beberapa sendok beras yang ditaruh dikotak/tempat
kecil/kadang botol kecap plastik yang dibagi dua, sisi yang masih ada alas
itulah yang digunakan sebagai tempat jimpitan. Kemudian sisi kedua botol kecap
ini diberi tali, sebelumnya dilubangi dulu, biasanya pake korek api, agar
plastik botol kecap (ujungnya) berlubang dikit, baru diikatkan tali diantara
kedua dengan membagi seimbang. Agar tidak gonclang (gonclang itu dalam bahasa
indonesia nya ya seimbang lah, pokoke gak berat sebelah, sama beratnya).
Nantinya
jimpitan ini akan diambil pada malam hari ketika bapak2 di desa kena jadwal
ngeronda. Sekitar jam 2 pagi lah, bpk2 ronda berkeliling kampung sambil nabuh
(mukul) kenthong (semacam bambu yang salah satu sisinya dilubangi, agar pas
dipukul bunyi, jika dipukul 2 kali, berarti jam 2 pagi). Kanthong sambil
dipukul2 keliling kampung, tujuannya biar hangat, gak ada maling, dan aman. Yang
jadwalnya tahajud jadi merasa ada teman, untuk mengambil air wudhu di sumur.
Nantinya
beras jimpitan ini akan dikumpulkan di balai desa, kalau sudah terkumpul banyak
digunakan utk kemakmuran desa. Begitu tiap harinya, jimpitan selalu ada di tiap
rumah.
Suasana
pagi pukul 2 sampai subuh, sangat rame di kampungku, ketika itu.
Setelah
bpk2 selesai ronda sekitar pukul 4 pagi, mushola deket rumahku pada ngaji, anak2
kecil pada berlarian ke mushola dituntun kedua orang tuanya,
Kami
berwudu di sumur mushola, kemudian jamaah subuh bersama, sampai bada’ subuh dan
kajian pagi, aku dan teman2 menyempatkan jalan2 dulu kemudian pulang dan
bersiap2 sekulah.
17
tahun kemudian..
Aku
pulang ke kampung tempatku dibesarkan, sudah banyak pembangunan. Jalan sudah
semakin bagus, rumah2 pun sudah pada dibangun lebih bagus.
Teman2
kecilku pun sudah berubah, rata2 sudah menggendong 1 anak, dan memanggilku “Bibi”
hihhi
Satu
hal yg kuingat, ketika aku masuk pintu rumah uwa..
“Jimpitaan.
Mana Jimpitan?”
Semoga
budaya jimpitan masih tetap ada, jimpitan bukan hanya sekedar jimpitan.
Jimpitan
itu, mempunyai makna yang hangat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar